Salah satu bagian terpenting dalam proses hipnosis adalah bagaimana
mengatasi faktor kritis seseorang. Faktor kritis inilah yang selalu melawan
setiap sugesti yang diberikan sehingga keberhasilan suatu proses hipnosis
sangat tergantung terhadap keberhasilan mem-bypass critical factor. Cara
yang bisa dilakukan sangat beragam dengan teknik yang bervariasi, mulai dari
yang direct maupun yang secara indirect, mulai dari overt hingga ke covert atau
terselubung. Teknik bercerita atau storytelling adalah salah satu cara
mem-bypass critical factor secara indirect dan perlahan-lahan tanpa disadari.
Untuk bisa melakukannya dengan baik, tentunya kita harus mempunyai
koleksi cerita yang cukup banyak dan beragam, agar cerita yang kita buat bisa
saling melengkapi dan bervariasi. Kita harus melengkapi juga dari sisi topik
atau tema cerita, mulai dari cerita lucu, sedih, semangat dll. Cerita tersebut
bisa berasal dari pengalaman pribadi, kisah orang lain, dari buku-buku ataupun
hanya karangan imajinasi kita sendiri.
Saya sendiri sangat senang mengambil cerita dari pengalaman seseorang
yang inspiratif baik dari buku ataupun yang diceritakannya sendiri. Terkadang juga
dari buku karangan para sufi, zen atau biksu. Salah satu buku favorit saya diantaranya
adalah karangan biksu Ajang Brahm seperti “Si cacing dan kotoran
kesayangannya”. Banyak kisah-kisah dari buku tersebut yang sangat baik
dijadikan referensi untuk melengkapi koleksi cerita kita.
Pernah ada teman saya yang sedikit stres bercampur cemas karena besoknya
akan presentasi makalah atau penelitiannya.
Teman saya : “ Hari ini saya sangat stres, besok saya
rencana akan presentasi makalah”
Saya : “ Boleh tidak, stresnya ditunda
saja besok, kan presentasinya nanti besok?”
Teman saya : ….Hem..hem
(…tentu bisa dibayangkan bagaimana responnya saat itu)
Saya : “Saya jadi teringat
dengan kisah seseorang yang lagi
sakit gigi sehingga dia memutuskan untuk datang ke dokter gigi besok harinya.
Malam harinya, dia tidak bisa tidur karena stres memikirkan bahwa besok dia
harus ke dokter gigi. Dia membayangkan segala macam peralatan yang akan
dipergunakan oleh dokter giginya nanti mulai dari jarum suntik hingga obeng
dll. Besok harinya, akhirnya dia pergi ke tempat praktek salahsatu dokter gigi
yang ada, ternyata dokter giginya berhalangan datang karena dokter giginya lagi
keluar kota. Akhirnya ia berfikir, Trus, untuk apa saya stres sepanjang malam hingga
tidak bisa tidur malam, rugi dong stressnya! ”
Dialog-dialog seperti di atas sering saya lakukan, sebenarnya dalam
dialog tersebut kita sudah bisa menggabungkan beberapa teknik, termasuk metode reframing.
Hanya dalam dialog tersebut, saya kaitkan dengan sebuah cerita yang diambil
dari salahsatu episode dari buku Ajahn Brahm.
Jadi untuk melakukannya sebenarnya sangat sederhana, cukup mengawali cerita
tersebut dengan “ Saya teringat dengan cerita…”, atau “
Pernah ada sebuah cerita….” , atau “ Pernah ada teman saya
namanya Anto…” atau boleh juga langsung saja bercerita. Tentu
anda akan teringat dengan metode “My friend John” iya kan? Pada prinsipnya
yang harus kita perhatikan adalah flow-nya atau rangkaian kalimat dengan
kalimat sebelumnya, sehingga akan berkesan nyambung atau terkait. Hal tersebut
dapat dilakukan dengan menggunakan kata perangkai ataupun kata sambung. Hal
lain yang perlu diperhatikan adalah cara menceritakannya, bagaimana
intonasinya, ritmenya dll. Sehingga yang mendengarkan bisa merasakan nilai
emosi yang dikandungnya.
Topik atau tema cerita yang dipilih disesuaikan dengan target atau goal
yang kita inginkan. Jika target kita adalah menginduksi atau ingin membuat
mereka trance maka pilihlah “trance theme”. Trance theme itu bisa cerita
mengenai pengalaman yang menyenangkan, yang membahagiakan, kedamaian ataupun ketenangan
dll. Cerita tersebut bisa juga kita tempatkan saat subjek dalam kondisi trance
jika dalam konteks terapi. Misalnya saat menangani subjek dengan nyeri dan anda
memutuskan ingin menggunakan time distortion maka anda bisa menceritakan
pengalaman sehari-hari yang mana orang-orang biasanya lupa waktu seperti melakukan
pekerjaan kegemaran/hobby seharian atau membaca buku favorit atau nonton di
sinema yang saking menariknya sehingga film dengan durasi 3 jam seolah-olah berlangsung
hanya 1 jam.
Namun, perlu juga kita pahami bahwa terkadang kebanyakan orang
menggunakan skill storytelling ini secara tidak sengaja. Sehingga
orang-orang tersebut tidak menyadari dampaknya terhadap orang lain dan sebagian
besar diantaranya adalah hal yang negatif. Jika kita menceritakan sebuah
pengalaman yang menyedihkan, itu berarti kita lagi menginginkan orang lain yang
mendengarkannya untuk sedih. Jika kita menceritakan sebuah kisah kegagalan kepada
seseorang maka bisa jadi itu berarti kita menginginkan kegagalan bagi seseorang.
Jadi kita perlu selalu mempertimbangkan dampak yang bisa timbul pada orang
lain.
Hal yang sering terlihat saat kita mengunjungi orang yang sakit atau ada
seseorang lagi menderita sakit. Para pembesuk sering melontarkan cerita seperti
berikut:
“Hati-hatilah lho mbak, ada tetangga saya beberapa
waktu yang lalu sakit seperti itu, kata dokter, penyakitnya tidak bisa sembuh
lagi, malah dalam beberapa hari bisa lumpuh dan perlahan-lahan tidak bisa
apa-apa lagi, meskipun dia sudah berobat macam-macam”
Asyiknya lagi, cerita tersebut diceritakannya dengan penuh semangat dengan
mimik yang baik, dan dari caranya bercerita dia termasuk seorang “good
storyteller”. Orang tersebut tidak menyadari, bagaimana efek dari cerita
yang dibuatnya. Mungkin orang tersebut mengira bahwa tidak ada yang salah dari
cerita tersebut. Ceritanya memang benar terjadi atau suatu true story
dan dia memang hanya menceritakan pengalaman seseorang. Tapi ketahuilah, dengan
menceritakan kisah seperti itu,
sebenarnya sama dengan meng-install cerita tersebut kepada orang lain.
Oleh karena itu, marilah kita mulai bersama-sama mulai sadar bagaimana potensi
yang dimiliki metode storytelling itu, sehingga kita bisa bijak untuk
menggunakannya! Semoga bermanfaat.
0 comments:
Post a Comment