English Version

Baca Juga

Wednesday, March 7, 2012

Hypnosis Susceptibility Scale


By on 11:22 PM

Bagi kalangan hypnotis, istilah Hypnosis Susceptibility Scale sudah kita kenal dan pahami . Hal ini dibuat untuk mengukur tingkat kemudahan seseorang di hipnosis atau masuk dalam kondisi trance. Berdasarkan Stanford Hypnotic Susceptibility Scale (SHSS), terdapat 3 kategori yaitu sekitar 10% masuk dalam kategori mudah, 85% kategori moderat dan 5% kategori sulit ( atau menantang menurut NLP practitioner), hal ini dapat dilihat di manual Indonesian Board Hypnosis (IBH). Richard Bandler (RB) mempunyai pandangan berbeda terhadap hal ini dan saya pikir sedikit menggelitik. RB berpendapat bahwa Hypnosis Susceptibility Scale justru dibuat untuk mengukur tingkat inkompetensi hypnotist-nya. Selengkapnya bisa dibaca di salah satu buku RB yaitu Richard Bandler’s Guide to Trance-formation.



Hal yang sama terhadap tingkat kemampuan seseorang melakukan visualisasi atau berimajinasi. Saat kita telusuri kata visualisasi melalui mbah google maka hanya sedikit literatur yang menggunakan kata visualisasi, jurnal-jurnal ilmiah lebih banyak menggunakan istilah mental imagery atau guided imagery dan hal yang mungkin membuat kita terkesan adalah praktek mental imagery ini dilakukan oleh orang-orang yang tidak pernah belajar hypnosis ataupun NLP, rata-rata mereka adalah seorang physiotherapist, psikolog yang mempunyai gelar akedemis S3 dan mereka telah menerapkannya pada pasien-pasien strok, Parkinson dll dan mereka telah membuktikan secara ilmiah sangat bermanfaat. Tapi mereka menemukan permasalahan bahwa ternyata para pasien tidak mempunyai kemampuan visualisasi yang sama sehingga mereka membuat suatu kuosioner yang disebut Movement Imagery Questionnare (MIQ). Sehingga mereka hanya melakukannya pada orang yang mempunyai skor MIQ yang tinggi. Sebenarnya permasalahan ini sama dengan Hypnosis Susceptibility Scale , bahwa semuanya kembali ke hypnostisnya atau guidernya, sejauhmana kemampuannya untuk membawa subjek kedalam kondisi yang kita inginkan. Tentunya harus kita sesuaikan dengan map subjek-nya dan hal itu kita bisa dapatkan saat preinduksi (gather information). Misalnya seorang subjek kita minta membayangkan bagaimana dinginnya di pegunungan Jayawijaya, tentunya hal ini mempunyai efek yang berbeda antara orang yang pernah tinggal di sana dengan orang yang belum pernah merasakannya. Sehingga kita harus lebih fleksibel dan menyesuaikan map kita dengan subjek. Berdasarkan pengalaman saya dalam melakukan mental imagery pada penderita strok yaitu sebelum saya pandu untuk membayangkan serangkaian gerakan-gerakan yang biasa atau pernah dilakukannya, saya harus menanyakan terlebih dulu hobbynya, pekerjaan, aktivitas sehari-hari dll. Nanti dari informasi itu saya gunakan untuk induksi maupun saat proses imagery. Sebenarnya secara teori, mereka tidak perlu dalam kondisi trance, tapi beberapa orang setelah kita pandu, sebagian besar dari mereka masuk dalam kondisi trance mulai dari light hingga deeptrance. Jadi tentunya hal ini merupakan hal yang positif bagi rekan-rekan yang sudah belajar hypnosis ataupun NLP, karena dari sisi ilmiah sudah terbukti manfaatnya dan rekan-rekan jangan membatasi diri terhadap pemanfaatannya bahkan pada hal-hal yang belum terpikirkan sebelumnya sebagaimana apa yang telah dilakukan oleh Richard Bandler.

About dr. Iqbal

dr. Iqbal adalah Pemilik dari Shichida Makassar. Seorang dokter ahli syaraf.

0 comments:

Post a Comment