Banyak pakar neurosains
menyamakan otak manusia dengan sebuah computer. Persamaannya tidak hanya dari
perangkat keras komputer namun juga cara bekerjanya. Sebuah komputer bisa
terserang oleh virus sehingga membuat cara kerjanya melambat demikian pula otak
manusia juga bisa terserang virus pikiran sehingga membuatnya bekerja tidak
optimal. Begitu juga dengan fungsi-fungsi yang lainnya. Namun pada kesempatan
ini, kita akan membicarakan, apakah kita juga dapat meng-install sesuatu seperti perasaan atau pengalaman pada otak manusia?
Pertanyaan ini sebenarnya
telah dijawab oleh John Overdurf,
co-author dari buku TrainingTrances. Cara
melakukannya sangat sederhana, cukup dengan bertanya secara detail tentang
emosi atau pengalaman yang akan kita install. Bertanyalah secara detil dengan menggunakan
prinsip 4W1H yang kita sudah kenal yaitu When, Where, Who, What dan How. Akan sangat
powerful jika dikombinasi dengan pertanyaan modalitas Visual, Auditorik,
Kinestetik, Olfactory dan Gustatorik (VAKOG) seperti yang telah kita pelajari
dalam NLP. Asyiknya lagi, jika hal ini kita lakukan hanya dalam konteks Tanya-jawab atau dalam konteks percakapan (conversation).
Kita hanya cukup bertanya dan mereka akan menjawab lalu kita bertanya lagi
sesuai dengan jawaban mereka. Dengan metode seperti itu maka secara otomatis,
emosi atau pengalaman tersebut akan ter-install.
Namun tentunya prinsip-prinsip dasar tetap kita harus perhatikan seperti jeda
atau pause. Hal ini untuk memberikan
waktu yang cukup kepada mereka untuk menjawab pertanyaan kita. Karena setiap
orang mempunyai waktu yang berbeda saat merespon sebuah pertanyaan. Prinsip dasar
yang lainnya adalah kemampuan observasi dan kalibrasi tetap menjadi perhatian
utama karena akan memberikan informasi kepada kita bagaimana efek pertanyaan yang
kita ajukan dan sekaligus akan membantu kita untuk menyusun pertanyaan
berikutnya. Jadi pada prinsipnya adalah menceritakan sesuatu pengalaman atau emosi
secara detil, itu berarti kita telah meng-install pengalaman atau emosi
tersebut ke dalam otak kita. Mungkin secara tidak sadar atau pun scara tidak
sengaja, hal tersebut telah kita lakukan berulang kali dalam kehidupan ini dan
repotnya lagi sebagian besar diantaranya adalah sesuatu hal yang negatif atau
hal yang seharusnya dihindari.
Beberapa waktu lalu, ada
seorang teman sementara dirawat di rumah sakit karena secara tiba-tiba mengalami
nyeri dada dan menurut dokter yang merawatnya terkena serangan jantung. Saat
saya menjenguknya, kira-kira pada hari ketiga perawatan, saya sempat menanyakan
bagaimana kondisinya dan beliau merasa terkadang dadanya masih terasa nyeri
meskipun obat telah diberikan. Pada saat yang bersamaan, beberapa kolega beliau
ikut juga membesuk dan saya sempat memperhatikan bahwa rata-rata pembesuk
mempunyai pertanyaan yang sama, “Bagaimana itu bisa terjadi ? Bagaimana
kejadiannya ? kemarin kan kita masih ketemu dalam kondisi sehat”. Sebenarnya
pertanyaan itu wajar diajukan karena kemarin mereka masih sempat bertemu dalam
kondisi sehat dan tak ada kabar sakit sebelumnya.
Teman saya tersebut menjawab pertanyaan
itu secara detil, dan menceritakan kembali peristiwa itu dari menit ke menit, seperti
tanpa ada yang terlupakan. Nah, disinilah letak permasalahannya, secara tidak
sadar para pembesuk telah meng-elicit
kejadian tersebut dalam bentuk pertanyaan, dan itu artinya kita telah
berkonstribusi dalam meng-install kejadian tersebut kembali kepada yang
bersangkutan. Bisa dibayangkan jika pembesuknya sekitar 300-an karena beliau memang
adalah seorang tokoh yang dikenal di masyarakat dan hampir dipastikan mereka
akan mengajukan pertanyaan yang sama. Jika kondisinya seperti itu maka kapan
nyeri dadanya akan bisa berkurang ?
Jadi bagaimana cara kita
mengatasi hal tersebut? jika kita sebagai pembesuk, maka hati-hatilah untuk menanyakan
hal-hal seperti itu, sedapat mungkin menghindarinya, dan kalau kita dalam
posisi yang ditanya, jawablah pertanyaan itu secara global dan sesingkat
mungkin, hindari menjawabnya secara detil, apalagi menceritakannya kembali. Saya
teringat dengan kebiasaan beberapa orang, jika secara tidak sengaja menanyakan
kabar keluarga yang ternyata telah wafat, maka sang penanya secara spontan
mengatakan, “I am sorry”.
Prinsip ini juga bisa kita
pergunakan saat melakukan proses induksi sekaligus sebagai terapi dalam konteks
hipnosis. Misalnya pada
seseorang yang mengalami nyeri dan kita memutuskan untuk melakukan time distortion untuk mengatasi masalah
tersebut. Maka kita boleh bertanya seperti berikut
sebagai awal untuk memulai percakapan:
„ Kalau boleh tahu, apa pekerjaan sehari-hari Bapak?“
„Saya kerja di Bengkel pak .....Saya memang senang kerja
di bengkel“
„Oh begitu... apakah Bapak pernah kerja di bengkel dan lupa
waktu...sehingga secara tidak sadar...eh sudah malam, karena saking asyiknya
kerja di bengkel ?“
„Pernah....“
Nah,
disinilah kita mulai meng-install
pengalaman Time Distortion pada bapak
tersebut. Kita hanya perlu melanjutkan pertanyaan tersebut secara detil tentang
dimana kejadiaannya, kapan waktunya (siang, malam, jam berapa) , dengan siapa
atau sendiri, bagaimana situasinya saat itu dan diperkuat dengan pertanyaan
modalitas (VAKOG). Hal yang menarik adalah pada saat seseorang telah mengakses pengalaman
tersebut, secara otomatis dan alami, orang tersebut secara perlahan akan masuk
dalam kondisi trance dan akhirnya menutup mata tanpa harus diminta untuk
melakukannya. Beberapa orang menyebut teknik induksi seperti ini sebagai teknik
Revivication. Semoga kita bisa dengan
bijak menggunakan hal ini, tahu kapan harus bertanya dan tahu kapan saatnya harus
diam !.
Yah,btw,tentang pembesuk,benar juga ..kita masih kena musibah dan mungkin capek ,masih di hardik dengan pertanyaan serupa berulang ulang :)
ReplyDeleteAlhamdulillah luar biasa ilmunya.
ReplyDelete