English Version

Baca Juga

Thursday, January 28, 2016

Meng-install Emosi dan Pengalaman


By on 12:33 AM

Banyak pakar neurosains menyamakan otak manusia dengan sebuah computer. Persamaannya tidak hanya dari perangkat keras komputer namun juga cara bekerjanya. Sebuah komputer bisa terserang oleh virus sehingga membuat cara kerjanya melambat demikian pula otak manusia juga bisa terserang virus pikiran sehingga membuatnya bekerja tidak optimal. Begitu juga dengan fungsi-fungsi yang lainnya. Namun pada kesempatan ini, kita akan membicarakan, apakah kita juga dapat meng-install sesuatu seperti perasaan atau pengalaman pada otak manusia?

Pertanyaan ini sebenarnya telah dijawab oleh John Overdurf, co-author dari buku TrainingTrances. Cara melakukannya sangat sederhana, cukup dengan bertanya secara detail tentang emosi atau pengalaman yang akan kita install. Bertanyalah secara detil dengan menggunakan prinsip 4W1H yang kita sudah kenal yaitu When, Where, Who, What dan How. Akan sangat powerful jika dikombinasi dengan pertanyaan modalitas Visual, Auditorik, Kinestetik, Olfactory dan Gustatorik (VAKOG) seperti yang telah kita pelajari dalam NLP. Asyiknya lagi, jika hal ini kita lakukan hanya dalam konteks Tanya-jawab  atau dalam konteks percakapan (conversation). Kita hanya cukup bertanya dan mereka akan menjawab lalu kita bertanya lagi sesuai dengan jawaban mereka. Dengan metode seperti itu maka secara otomatis, emosi atau pengalaman tersebut akan ter-install. Namun tentunya prinsip-prinsip dasar tetap kita harus perhatikan seperti jeda atau pause. Hal ini untuk memberikan waktu yang cukup kepada mereka untuk menjawab pertanyaan kita. Karena setiap orang mempunyai waktu yang berbeda saat merespon sebuah pertanyaan. Prinsip dasar yang lainnya adalah kemampuan observasi dan kalibrasi tetap menjadi perhatian utama karena akan memberikan informasi kepada kita bagaimana efek pertanyaan yang kita ajukan dan sekaligus akan membantu kita untuk menyusun pertanyaan berikutnya. Jadi pada prinsipnya adalah menceritakan sesuatu pengalaman atau emosi secara detil, itu berarti kita telah meng-install pengalaman atau emosi tersebut ke dalam otak kita. Mungkin secara tidak sadar atau pun scara tidak sengaja, hal tersebut telah kita lakukan berulang kali dalam kehidupan ini dan repotnya lagi sebagian besar diantaranya adalah sesuatu hal yang negatif atau hal yang seharusnya dihindari.

Beberapa waktu lalu, ada seorang teman sementara dirawat di rumah sakit karena secara tiba-tiba mengalami nyeri dada dan menurut dokter yang merawatnya terkena serangan jantung. Saat saya menjenguknya, kira-kira pada hari ketiga perawatan, saya sempat menanyakan bagaimana kondisinya dan beliau merasa terkadang dadanya masih terasa nyeri meskipun obat telah diberikan. Pada saat yang bersamaan, beberapa kolega beliau ikut juga membesuk dan saya sempat memperhatikan bahwa rata-rata pembesuk mempunyai pertanyaan yang sama, “Bagaimana itu bisa terjadi ? Bagaimana kejadiannya ? kemarin kan kita masih ketemu dalam kondisi sehat”. Sebenarnya pertanyaan itu wajar diajukan karena kemarin mereka masih sempat bertemu dalam kondisi sehat dan tak ada kabar sakit sebelumnya.

Teman saya tersebut menjawab pertanyaan itu secara detil, dan menceritakan kembali peristiwa itu dari menit ke menit, seperti tanpa ada yang terlupakan. Nah, disinilah letak permasalahannya, secara tidak sadar para pembesuk telah meng-elicit kejadian tersebut dalam bentuk pertanyaan, dan itu artinya kita telah berkonstribusi dalam meng-install kejadian tersebut kembali kepada yang bersangkutan. Bisa dibayangkan jika pembesuknya sekitar 300-an karena beliau memang adalah seorang tokoh yang dikenal di masyarakat dan hampir dipastikan mereka akan mengajukan pertanyaan yang sama. Jika kondisinya seperti itu maka kapan nyeri dadanya akan bisa berkurang ?

Jadi bagaimana cara kita mengatasi hal tersebut? jika kita sebagai pembesuk, maka hati-hatilah untuk menanyakan hal-hal seperti itu, sedapat mungkin menghindarinya, dan kalau kita dalam posisi yang ditanya, jawablah pertanyaan itu secara global dan sesingkat mungkin, hindari menjawabnya secara detil, apalagi menceritakannya kembali. Saya teringat dengan kebiasaan beberapa orang, jika secara tidak sengaja menanyakan kabar keluarga yang ternyata telah wafat, maka sang penanya secara spontan mengatakan, “I am sorry”.

Prinsip ini juga bisa kita pergunakan saat melakukan proses induksi sekaligus sebagai terapi dalam konteks hipnosis. Misalnya pada seseorang yang mengalami nyeri dan kita memutuskan untuk melakukan time distortion untuk mengatasi masalah tersebut. Maka kita boleh bertanya seperti berikut sebagai awal untuk memulai percakapan:

„ Kalau boleh tahu, apa pekerjaan sehari-hari Bapak?“
„Saya kerja di Bengkel pak .....Saya memang senang kerja di bengkel“
„Oh begitu... apakah Bapak pernah kerja di bengkel dan lupa waktu...sehingga secara tidak sadar...eh sudah malam, karena saking asyiknya kerja di bengkel ?“
„Pernah....“

Nah, disinilah kita mulai meng-install pengalaman Time Distortion pada bapak tersebut. Kita hanya perlu melanjutkan pertanyaan tersebut secara detil tentang dimana kejadiaannya, kapan waktunya (siang, malam, jam berapa) , dengan siapa atau sendiri, bagaimana situasinya saat itu dan diperkuat dengan pertanyaan modalitas (VAKOG). Hal yang menarik adalah pada saat seseorang telah mengakses pengalaman tersebut, secara otomatis dan alami, orang tersebut secara perlahan akan masuk dalam kondisi trance dan akhirnya menutup mata tanpa harus diminta untuk melakukannya. Beberapa orang menyebut teknik induksi seperti ini sebagai teknik Revivication. Semoga kita bisa dengan bijak menggunakan hal ini, tahu kapan harus bertanya dan tahu kapan saatnya harus diam !.

About dr. Iqbal

dr. Iqbal adalah Pemilik dari Shichida Makassar. Seorang dokter ahli syaraf.

2 comments:

  1. Yah,btw,tentang pembesuk,benar juga ..kita masih kena musibah dan mungkin capek ,masih di hardik dengan pertanyaan serupa berulang ulang :)

    ReplyDelete